Hidup haruslah bermakna dan
berguna. Maka bagaimana sebenarnya hidup yang bermakna? Al-qur’an memiliki
bahasa sendiri dalam menegaskan pernyataan tentang hidup bermakna. Allah
berfirman dalam al-qur’an surat wal-ashri yang artinya “Demi masa,
sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman,
beramal shalih, saling berwasiat dengan kebenaran serta berbuat sabar” (QS
Wal-Ashri 1-3).
Surat Al-Ashr menurut mayoritas
ulama turun pada fase sebelum rasulullah hijrah ke Madinah. Ayat yang turun
pada fase ini disebut dengan ayat Makkiyyah. Tersusun dari tiga ayat dan merupakan
surat terpendek dalam al-qur’an bersama surat al-kautsar.
(wal-ashri) artinya “demi
masa”.
Ayat ini merupakan bentuk kalimat
qosam atau sumpah. Seperti lazimnya berucap sumpah, ini berarti menegaskan
pentingnya pesan yang akan disampaikan setelahnya. Al-ashr secara terjemah
bahasa bermakna masa, zaman, atau waktu. Dalam ayat ini terdapat penegasan
bahwa masa, zaman, waktu, umur manusia, beberapa makna yang merupakan
penafsiran ulama tentang arti ayat ini, merupakan hal agung sebab menjadi objek
maqsum bihi (media sumpah).
Sehingga waktu merupakan hal yang harus mendapat perhatian. Rasul saw.
bersabda dalam hadis, “ada dua nikmat yang terabaikan oleh banyak manusia, yaitu
sehat dan waktu luang” (HR. Al-Baihaqi dari Ibn Abbas) .
(innal insana lafi khusrin) artinya
“sesungguhnya manusia benar-benar rugi”.
Ayat ini secara tata bahasa merupakan jawabul
qosam. Yaitu isi atau pesan yang dimaksud dari penyebutan sumpah pada ayat
sebelumnya. Dalam ayat ini sendiri terdapat dua kalimat penegas atau kalimat
taukid. Yang pertama adalah kalimat inna. Yang kedua adalah lam
yang disisipkan pada khobar dari kalimat inna. Dalam kitab
al-futuhat al-ilahiyyah disebutkan, menurut pendapat yang kuat lafadz (al-insan)
dalam ayat ini merujuk pada keseluruhan manusia. Alif lam pada kalimat
tersebut memiliki pemaknaan lil jinsi, seluruh jenis manusia, sehingga
mencakup muslim dan non muslim. Faktor pendukungnya adalah adanya kalimat
pengecualian atau istitsna’ setelahnya yang mengecualikan kategori
manusia yang beriman dari kelompok manusia yang merugi. (khusrin)
berarti merugi atau berkurang. Al-Akhfasy mengartikannya dengan celaka dan
ulama lain mengartikannya dengan keburukan.
Status ayat ini sebagai jawabul
qosam memberi kesan tersurat bahwa isi ayat ini adalah berita penting yang
harus ditanggapi serius. Pentingnya ayat ini dipertegas dengan tambahan adanya
dua kalimat taukid di dalamnya. Frase dalam dua ayat pertama surat ini
menggunakan tiga kalimat penegasan, yang menguatkan kesan bahwa manusia akan
benar-benar selalu dan terus menerus merugi. Tiga kalimat penegas yang dalam
istilah gramatika arab disebut dengan ta’kid adalah bentuk kata sumpah,
inna dan lam ta’kid.
“Demi Masa. Sesungguhnya seluruh
manusia benar-benar rugi, celaka dan dalam keburukan”
(illalladziina amanu wa
amilussholihati wa tawashou bil haqqi wa tawashou bisshobri) artinya
“kecuali mereka yang beriman dan beramal shalih dan saling berwasiat dengan
kebenaran dan saling berwasiat untuk bersabar”.
Kalimat illa dalam ayat
ini memiliki makna perkecualian dan merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya.
Pada ayat sebelumya telah ditegaskan bahwa seluruh manusia benar-benar merugi,
celaka dan dalam keburukan. Pesan ini dilanjutkan dengan menyebutkan golongan
manusia yang selamat dari kerugian serta keburukan. Al-Qur’an menyampaikan
substansi pesan ini dengan model kalimat pengecualian.
(Wa tawashou) pada ayat
ini adalah bentuk fi’il madhi, bukan fi’il amr. Maknanya menjadi berita
(kalimat ikhbar) bukan dalih untuk perintah. Kalimat ini merupakan kelanjutan
keterangan tentang empat karakter manusia yang tidak merugikan waktunya. (as-shabr)
secara alih bahasa berarti sabar. Makna sabar sebenarnya sudah termasuk dalam
makna kalimat (al-haqq). Sabar adalah bagian dari makna al-haqq.. Meski
begitu Allah mengulangnya kembali mengingat pentingnya kedudukan sabar dalam
kehidupan. Sabar adalah menahan diri dan kerelaan menerima. Sabar berbeda
dengan malas. Sabar bukan berarti tidak berusaha. Sabar adalah kesediaan
menerima hasil yang didapat setelah berusaha dan menahan diri dari malas dengan
terus berusaha.
Ayat ini mencakup dua dimensi
untuk menggapai makna hidup. Dimensi pertama berfokus pada bagaimana membentuk
nilai dan karakter dalam diri. Yaitu dengan menjadi pribadi yang beriman dan
beramal baik. Iman adalah sikap hati. Keyakinan. Keyakinan ini yang kemudian
menuntun, menjaga dan membimbing manusia untuk terus berada dalam kebaikan.
Bermal shalih dan berbuat baik adalah implikasi dari hati yang beriman. Serta
ingatlah, iman yang benar dan menenteramkan didapat dan berdasar pada
pengetahuan yang benar.
Dimensi kedua berfokus pada
bagaimana prinsip manusia dalam bersosialisasi dengan orang lain. (wa
tawashou) bukan dalih untuk kemauan mengingatkan saja. Legitimasi untuk
berbicara dan berbicara. Lebih penting dari itu, artinya adalah mau menerima
nasehat. Kesediaan mendengarkan lawan bicara. Kesediaan menerima kebenaran dari
orang lain. (wa tawashou) adalah
tentang berani menyampaikan kebenaran kepada orang lain. Selain itu juga
berani menerima kebenaran dari orang lain. Jika empat karakter ini dimiliki
seluruh manusia, masyarakat yang terbentuk sangatlah baik dan kehidupan akan
berjalan harmonis.
Terdapat empat kategori karakter
disebutkan dalam ayat ketiga ini. Beriman, beramal shalih, kesediaan
mengingatkan dan diingatkan pada kebenara, dan kesediaan mengingatkan dan
diingatkan untuk bersabar.
Mencari Makna Hidup
Di tengah tidak menentunya arus kehidupan, laju modernisasi
tak terkendali, budaya tanpa identitas, liarnya pergaulan bebas, kemajuan teknologi
dan informasi melebihi batas kendali manusia, pertanyaan tentang tujuan hidup semakin penting dalam mendefinisikan
diri serta menentukan proyeksi
masa depan. Fenomena maraknya pelanggaran aturan yang menghiasi layar kaca bisa
jadi merupakan ekses dari hilangnya prinsip dan nilai diri. Manusia bingung
menggapai makna eksistensi hingga menghalalkan segala cara mewujudkan mimpi
menjadi “sukses”. Sukses yang tidak jelas makna dan tujuannya. Banyak
yang tertipu penampilan dan kemasan yang disuguhkan dunia dan melalaikan fitrah
hidup manusia.
Apakah gejala kaburnya makna
hidup baru muncul di era modern ini saja? Tentu tidak. Fenomena ini telah mengakar lama sepanjang umur
manusia itu sendiri. Jika saat ini mobil, rumah mewah, dan wanita cantik yang
jadi penegas eksistensi, jaman dahulu bisa lebih liar lagi. Lambang kemewahan dunia berbentuk
budak, selir, perhiasan, emas dan sutera. Lalu Rasulullah saw. datang dengan Islam menyelamatkan manusia dari
kesesatan dan keburukan
era jahiliyyah. Islam datang menghapus kepongahan Romawi dan kesombongan Persia sebagai dua
adidaya dunia masa itu. (Baca Al-Qur’an Surat Al-Humazah)
Betapa wal-ashri, surat
singkat yang barangkali biasa berlalu lalang di lisan seorang mu’min ketika
sholat memiliki makna begitu dalam. Empat pilar yang harus menjadi jalan
pengabdian hidup manusia. Bagaimana menegaskan eksistensi hidup dengan menjadi
pribadi yang beriman, beramal shalih, memiliki kualitas yang sanggup menyampaikan
dan menerima nasehat kebenaran, serta untuk selalu bersabar. Empat hal ini menuntun
manusia menjalani hidup yang baik untuk Sang Pencipta dan untuk sesamanya.
Menunjukkan prinsip pokok bagaimana seharusnya memanfaatkan waktu. Agar umur
yang telah Allah berikan tidak berlalu tanpa makna. Tanpa memiliki empat hal
ini manusia telah benar-benar merugikan umurnya. Inilah Al-Qur’an, Kalamullah,
yang mengantar umat manusia keluar dari era keburukan Jahiliyyah sepanjang masa.
Semoga kebaikan Al-Qur’an senantiasa tersampaikan untuk menuntun dan menerangi
hidup manusia hingga hari ditiupnya sangkakala.
Daftar
rujukan:
Tafsir Al-jalalain
Hasyiyah As-Showi
Tafsir Ar-Rozi
Al-futuhat Al-ilahiyyah
Syu’abul Iman Lil Baihaqi
Al-Muhith Fil Lughah
amiruddin
fahmi