Orang besar
dikenal dan dikenang melalui karyanya. Banyak orang pernah mendengar nama besar
Sayyid Muhammad Al-Maliki yang disebut
sebagai Ulama Ahlussunnah Abad Ini. Namun tak banyak yang benar-benar tahu
kebesaran dan luasnya ilmu beliau yang bisa dilihat melalui karyanya. Salah satu dari karya besar yang
menunjukkan kematangan, kedewasaan dan keluasan anugerah ilmu dan hikmah yang
Allah berikan untuk beliau adalah kitab berjudul “ Al-Ghuluw Wa Atsaruhu Fil
Irhab Wa Ifsadil Mujtama’”. Sebuah risalah ringkas namun memiliki bobot
keilmuan yang luar biasa. Karya tulis ini menunjukkan kematangan beliau dalam
berislam dan mengajarkan bagaimana memahami Islam dengan bijak tanpa
menampilkan sikap arogan dan egois.
Bermula
dari keikutsertaan beliau pada forum diskusi nasional (di Arab Saudi) yang
digagas langsung oleh Al-Amir Abdullah bin Abdul Aziz bulan Rajab tahun 1424 H.
silam. Forum yang merupakan agenda kenegaraan Arab Saudi ini melibatkan berbagai
unsur masyarakat agar ikut andil menyampaikan pendapatnya yaitu para ulama,
akademisi pendidikan dan cendekiawan. Sesuai tema yang diusung yaitu “pandangan
terhadap sikap fanatik dan moderat” beliau diundang sebagai pembicara dalam
kapasitasnya sebagai ulama dan pemikir Islam. Maka dalam konteks inilah beliau
sayyid Muhammad kemudian menulis risalah ini.
Sebagaimana
dijelaskan dalam pembukaan kitab, beliau menyayangkan keterlambatan ajakan dan
kesediaan untuk membuka ruang diskusi yang membahas mengenai praktek fanatisme.
Alangkah baiknya jika acara ini diadakan sejak lama seraya mengingatkan bahwa
beliau telah mengajak bertukar pikiran dan pandangan 20 tahun sebelumya
sebagaimana tertulis dalam kitab beliau yang populer “Mafahim Yajibu An Tushohhah”.
Akibatnya, sikap fanatik atau salah memahami ajaran dalam islam telah
mengakibatkan lahirnya banyak korban dari pihak kaum muslimin sendiri.
Kitab ini memiliki nama lengkap Al-Ghuluw Wa Atsaruhu Fil Irhab Wal
Mujjtama’, artinya “Fanatisme dan
dampaknya terhadap teror dan masyarakat”. Versi aslinya diterbitkan oleh
penerbitan pribadi Sayyid Muhammad dengan isi 78 halaman. Risalah ini terdiri dari beberapa bagian. Materi
utama merupakan makalah yang beliau sajikan sebagai pembicara dalam forum
nasional tersebut. Menyusul kemudian tulisan yang merupakan tanggapan untuk
menanggapi pendapat-pendapat
tentang “fanatisme” yang beredar dalam forum.
Bagaimana
Rasulullah Menyikapi Fanatisme Umatnya
Sebelum
berbicara lebih jauh, Sayyid Muhammad membuka risalahnya dengan memberikan
definisi dan pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan ghuluw atau sikap
fanatik yang berarti berlebihan. Ghuluw adalah melebihi batas
keseimbangan dan prinsip keadilan yang diperbolehkan dan dianjurkan dalam
Islam. Sebagaimana Allah memuji umat Rasulullah dalam alqur’an sebagai umat
yang adil (wasath, tengah-tengah) pada surat Al-Baqarah ayat 143.
Dijelaskan
dalam kitab ini, bahwa pada dasarnya, laten sikap fanatik atau berlebihan telah
mengakar sejak umat terdahulu. Alqur’an telah menyebutkan kesalahan umat Yahudi
dan Nasrani dalam berbagai ayat alqur’an seperti pada surat An-Nisa’ ayat 171.
Rasulullah sendiri tak urung juga mengingatkan umatnya untuk menjauhi sikap
berlebihan dalam beragama. Rasulullah juga mengingatkan umatnya agar belajar
dari kesalahan umat sebelumnya (ahlul kitab) yang celaka karena fanatisme
berlebihan dalam beragama (HR Ahmad). Sudah umum didapati di masa Rasulullah
praktek “transaksi liar” yang dilakukan sebagian ulama Nasrani dan Yahudi.
Praktek semacam ini banyak sekali disinggung dalam Al-Qur’an dengan sebutan
Jual-Beli Ayat. Praktek tersebut mungkin terjadi disebabkan melalui kejelian
mereka menyalahgunakan fanatisme berlebihan dari umatnya sehingga Al-Qur’an
menyebut ulama Yahudi dan Nasrani telah menuhankan diri mereka (Al-Ahzab ayat
31) .
Sayyid
Muhammad juga menyertakan salah satu contoh yang sangat brilian mengenai
praktek sikap fanatik atau berlebihan
yang terjadi pada masa hidup Rasulullah supaya dijadikan contoh untuk
umatnya di jaman sekarang. Disebutkan dalam Shahih Bukhari, suatu hari
sekelompok lelaki berjumlah tiga orang mendatangi rumah Nabi saw. Mereka datang
hendak menanyakan tentang ibadah Nabi Muhammad. Begitu dikabari, mereke
terkejut setelah mengetahui bahwa ibadah yang dijalankan Rasulullah ternyata
tak sebanyak yang mereka bayangkan. Salah satu dari ketiganya berkata, “aku
selalu shalat sepanjang malam setiap hari”. Temannya mengatakan, “aku selalu
berpuasa setiap hari tanpa berbuka”. Lelaki ketiga juga berkata, “aku menjauhi
wanita dan tidak menikah”. Mereka berpikir bahwa mujahadah, tirakat, atau usaha
mereka melawan nafsu benar-benar maksimal dan menganggapnya sebagai sebuah
kebaikan. Rasulullah kemudian mendatangi mereka dan berkata, “apakah kalian
yang mengatakan telah berbuat begini dan begini? Demi allah, aku adalah orang
paling bertaqwa di antara kalian dan paling takut kepada Allah. Meski begitu
aku berpuasa lalu berbuka, shalat malam juga beristirahat, dan aku juga
menikah. Maka siapa yang membenci jalan (sunnah)ku bukanlah termasuk golonganku
(Hadis 5063 Bab tentang Anjuran untuk Menikah).
Dari hadis
ini, bisa jadi akan melahirkan sebuah pertanyaan pelik. Apakah hadis ini
berarti larangan untuk beribadah dengan sunguh-sungguh? Jawabannya adalah
tidak. Bersungguh-sungguh dalam ibadah merupakan perintah anjuran syari’at
seperti termaktub dalam Surat Al-Ankabut ayat 69, Al-Ahzab ayat 41 dan 42.
Namun perlu digaris bawahi, hadis tersebut menekankan umat Islam agar tidak
gila beribadah hingga melalaikan tuntutan kebutuhan hidup lainnya. Keranjingan
beribadah hingga mewajibkan hal-hal yang tidak diwajibkan oleh syari’at. Bagaimanapun, keseimbangan hidup merupakan
hal penting yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Inilah salah satu bentuk
sikap fanatik yang berlebihan dan dilarang dalam Islam.
Reaksi
Rasulullah dalam menanggapi kabar yang dihembuskan tiga orang tersebut memiliki
banyak pelajaran. Beliau mengajarkan pada para sahabat untuk tidak mendiamkan
sikap semacam itu. Beliau juga bergegas menanganinya sendiri seraya menegurnya.
Bahwa meskipun beliau adalah jelas Insan yang paling bertaqwa kepada Allah,
bukan berarti lalu menghabiskan seluruh hidupnya dengan beribadah serta
melalaikan kebutuhan hidup yang lain. Yang baik adalah menemukan keseimbangan
antara segala tuntutan keadaan, memberikan yang terbaik untuk Allah tanpa
melalaikan hak tubuh dan segala yang menjadi tanggung jawab masing-masing.
Inilah bentuk keindahan dan kebaikan rahmat yang diberikan Islam tanpa
membebani umatnya.
Dari dokumentasi
dan catatan yang terekam dalam kitab ini, umat islam dapat belajar banyak dari
ilmu dan hikmah yang terangkum di dalamnya. Selain itu, umat Islam juga dapat belajar
dari teladan yang diberikan Sayyid Muhammad tentang nilai-nilai yang sepatutnya
dicontoh dan dipegang dalam bersikap. Bagaimana berdiskusi yang santun tanpa
menjatuhkan. Etika menyampaikan pendapat. Toleransi dan jiwa besar untuk
mendengarkan. Kesediaan untuk berkumpul dan saling mengenal antar aliran dalam
islam, bahwa perbedaan pendapat bukanlah alasan untuk tidak berkumpul dalam
satu forum yang sehat dan bertujuan baik. Ketika membaca kitab ini,
pembaca akan disuguhkan keluasan ilmu yang sedang berbicara langsung, seakan
keagungan beliau dihadirkan dalam rupa sajian tertulis. Menilik kharisma dan
karakter agungnya, tepat sekali bila beliau menyandang gelar Ulama Ahlussunnah
Abad Ini. Selamat menikmati.
Wallahu a’lam.
Amiruddin
Fahmi
ditulis untuk Majalah Al-Bashiroh, Media Da'wah PP. Darullughah Wadda'wah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar